Namaku Celia, aku masih berumur 15 tahun. Kedua orangtuaku sudah lama pergi meninggalkan anak anaknya. Sekarang aku hidup bersama kakaku saja.
Aku suka menyediri dan enggan bagiku untuk meninggalkan kamar. Sebuah ruangan kecil berukuran 4x4 meter yang tidak mempunyai jendela dan hanya memiliki 1 pintu sebagai akses keluar masuk.Jika kamu bertanya bagaimanna pengapnya kamarku, maka aku tidak akan heran. Namun, jangan kuatir masih ada lubang kecil diatas pintu yang bisa jadi sebuah ventilasi. Sentuhan manusiawi sang designer rumah. Suatu hal yang mencegahku tercekik oleh karena perputaran udara yang sangat minimal.
Hal kecil di kamarku yang sangat aku kagumi adalah sebuah cermin besar yang terletak di pojok kiri kamarku, tepat disebelah almari bajuku. Kaca ini peninggalan moyangku. Ketika ayahku masih disini, dia sangat suka berlama - lama memandangi cermin antik ini. Entah apa yang di benaknya waktu itu, tapi dia sangat betah berdiri didepan cermin itu. Ketika ayahku pergi, cermin ini kumasukan ke kamarku supaya aku selalu ingat pada ayahku.
Hari demi hari kuhabiskan dalam lamunan dan kesendirian. Aku tak banyak teman, paling paling hanya satu atau dua orang saja yang mau menyapaku. Entah, mereka bisa dibilang teman atau bukan yang pasti cuma orang orang itu tadi yang mau menyapaku.
Suatu ketika, sepulang aku dari sekolah. Kira kira ketika langit mulai meredup dan waktu mulai mendekati adzan maghrib. Aku sudah sampai rumah, tak kulihat kakaku dirumah entah dimana aku kurang tahu. Sudah hampir tiga hari tidak terlihat. Memang kami tidak begitu akrab. Walaupun tinggal serumah, aku dan kakaku jarang sekali berbicara. Paling paling sapaan ringan seperti "hai, masih idup loe?" atau "baguslah masih bisa melek". Sapaan kasih sayang yang seolah olah menyuruhku untuk cepat cepat mati. Aku tak peduli. Namun, pulang tanpa mendengar sapaan mesra kakaku terasa seperti minum kopi tanpa ditemani sebatang rokok. Ya, benar aku seorang perokok dan sudah dari SMP aku mengenal si tembakau linting ini.
Aku masuk kamar dan kututup rapat pintu kamarku. Aku mulai duduk termenung, menghayati setiap detik waktuku yang selama 15 tahun ini belum mau berhenti. Kudengarkan hembusan hafasku dan aku mulai terserang hawa kantuk. Dalam lamunanku dan beratnya kelopak mataku, samar terlihat sekelebat cahaya yang mengarah ke samping kiri kamarku. Kelebatan itu berhenti tepat pada cermin antik itu.
Dengan langkah berat, ku ikuti rasa penasaranku dan mulai kuhampiri cermin itu. Tergopoh - gopoh aku mulai mendekat. Didepan cermin, aku berdiri dan kupandangi sosok itu. Aku berdiri lama memandangi cermin. Dalam benaku terbersit suatu pertanyaan "Entah apa yang ada di benaku waktu itu?".
No comments:
Post a Comment